Merumuskan Kode Etik Guru sebagai Profesi  

Merumuskan Kode Etik Guru sebagai Profesi


Darmaningtyas

SALAH satu program kerja 100 hari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo adalah mencanangkan "Guru sebagai Profesi" pada 2 Desember 2004, bersamaan dengan peringatan Hari Guru Nasional. Sebagai suatu profesi, guru memerlukan kode etik. Naskah kode etik itu sekarang tengah digodok. Namun, dari draf yang diajukan Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah masih terdapat beberapa hal yang perlu disikapi secara kritis.

Draf kode etik guru tersebut selain diambil dari kode etik yang sudah dimiliki PGRI dan memperoleh masukan dari para profesor doktor bidang pendidikan, juga dengan membandingkan kode etik yang dimiliki oleh profesi lain. Artinya, secara prosedural penyusunan draf kode etik guru itu sudah sesuai mekanisme kerja yang benar. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa draf itu dapat dikatakan final dan layak untuk disahkan menjadi kode etik guru. Sebaliknya, masih banyak hal yang perlu didiskusikan agar sebagai kode etik memiliki kejelasan operasional.

Kejelasan operasional dari kode etik itu penting mengingat pelanggaran kode etik menjadi dasar bagi pemberian sanksi atau bahkan pemecatan guru sebagaimana diatur dalam draf RUU Guru yang sudah diajukan ke DPR. Banyak pasal dalam RUU Guru yang pelaksanaannya di lapangan mengacu pada kode etik guru. Jika rumusan kode etiknya tidak jelas, dikhawatirkan kelak akan menyulitkan pelaksanaan Undang- Undang Guru.

Yang perlu diatur

Bagi penulis, yang awam dalam bidang filsafat dan hukum, sebetulnya memahami kode etik itu sederhana saja, yaitu mengatur hal-hal yang boleh dan tidak boleh serta yang pantas dan tidak pantas dilakukan terkait dengan profesi tertentu. Agar kode etik itu dapat menjadi pedoman bertindak bagi seseorang yang mengemban suatu profesi, maka bahasanya harus tegas dan jelas jangan sampai menimbulkan multiinterpretasi.

Apabila kode etik itu adalah kode etik guru, maka yang perlu diatur adalah apa yang boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantas dilakukan oleh seorang guru. Indikator "boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantas" suatu tindakan itu harus jelas agar memberikan arahan yang jelas pula untuk bertindak atau menilai apakah seorang guru melanggar kode etik atau tidak. Apabila indikator "boleh dan tidak boleh atau pantas dan tidak pantas" itu tidak jelas, baik bagi guru yang bersangkutan maupun orang lain kesulitan untuk menilai apakah guru tersebut melanggar kode etik atau tidak.

Persoalan yang terdapat pada draf kode etik guru sekarang ini adalah rumusan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh atau yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh guru itu tidak jelas. Pasal 8 yang mengatur Hubungan Guru dengan Peserta Didik, misalnya, mengatakan: a) Guru berperilaku sebagai pelaksana tugas membimbing, mengajar, dan melatih secara profesional dengan menghargai perbedaan individual peserta didik dalam melaksanakan profesi pendidikan; b) Guru mampu menghimpun berbagai informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses pendidikan; c) Guru mampu membimbing peserta untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan hak dan kewajibannya sebagai individu, warga sekolah, masyarakat dan negara; d) Guru secara perorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien; e) Guru berperan sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang terus-menerus berusaha mencegah setiap gangguan yang mempengaruhi peserta didik.

Pengaturan mengenai hubungan guru dan peserta didik (murid) dalam kode etik guru adalah hal yang seharusnya dominan dan sekaligus utama karena sesungguhnya kode etik itu dibuat untuk memperjelas relasi guru dengan murid sehingga tidak sampai terjadi pelanggaran etik profesi guru. Tapi jika kita mencermati bunyi Pasal 8 draf kode etik di atas, rasanya masih belum begitu jelas aturan mengenai relasi guru dengan murid dalam draf kode etik guru.

Ketidakjelasan itu juga terdapat dalam pengaturan hubungan antara guru dengan: orangtua/wali murid (Pasal 9), masyarakat (Pasal 10), sekolah dan rekan sejawat (Pasal 11), profesi (Pasal 12), organisasi profesi (Pasal 13), dan pemerintah (Pasal 14). Ketidakjelasan relasi guru dengan murid dan stakeholder lain itu akan menyulitkan pelaksanaan UU Guru nantinya. Sebab, di beberapa pasal RUU Guru terdapat sebutan kode etik guru, termasuk sebagai dasar pemberian sanksi administratif kepada guru (Pasal 33).

Apabila rumusan kode etiknya tidak begitu jelas, bagaimana Dewan Kehormatan Guru (Pasal 30-32 RUU Guru) akan dapat bekerja dengan baik, padahal salah satu tugas Dewan Kehormatan Guru memberikan saran dan pertimbangan dalam rangka pelaksanaan tugas profesional dan Kode Etik Guru Indonesia.

Berbeda misalnya kode etik yang menyangkut hubungan guru dengan murid itu berbunyi: a) Guru tak boleh memberikan les privat kepada muridnya; b) Guru tak boleh menjual buku pelajar atau benda-benda lain kepada murid; c) Guru tak boleh berpacaran dengan murid; d) Guru tak boleh merokok di depan kelas/murid; e) Guru tak boleh melakukan intimidasi, teror, dan tindak kekerasan kepada murid, f) Guru tak boleh melakukan penistaan terhadap murid; g) Guru tak boleh ber-HP ria di dalam kelas, dan sebagainya.

Tawaran rumusan relasi guru dengan murid ini mungkin jauh lebih sederhana, tapi mudah dimengerti oleh guru dan guru pun memiliki kejelasan dalam bertindak dan berperilaku. Sebaliknya, Dewan Kehormatan Guru pun akan mudah menentukan apakah seorang guru melanggar kode etik atau tidak.

Campur aduk

Salah satu masalah mendasar dari draf kode etik guru yang diajukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan-yang disusun dengan mendapat masukan para ahli pendidikan-ini adalah adanya campur aduk antara perumusan konsepsi filosofis tentang guru dengan pedoman praktis bagi seorang guru untuk bertindak. Padahal, keduanya jelas sangat berbeda. Dan hal itu tampak jelas pada rumusan draf secara keseluruhan. Dari 18 pasal yang ada, Pasal 1 sampai 7 lebih merumuskan konsepsi filosofis seorang guru, sedangkan Pasal 8 sampai 10 baru rumusan operasional kode etik guru. Akan tetapi, secara keseluruhan dari Pasal 1 sampai 18 itu disebut Kode Etik Guru Indonesia. Kerumitan pasti akan terjadi jika draf kode etik itu disahkan oleh Menteri Pendidikan Nasional dan RUU Guru yang mengacu pada kode etik guru pun lolos.

Sangat ideal

Masalah praktik yang akan muncul adalah apakah seorang guru yang di mata muridnya sangat ideal (punya kemampuan mengajar secara baik, menghargai murid, dan perilakunya dapat diteladani) dapat dikenai sanksi administratif atau diajukan ke Dewan Kehormatan Guru karena guru yang bersangkutan tidak disiplin beribadah? Sebab, salah satu butir nilai-nilai dasar profesi guru adalah disiplin beribadah sebagai cermin insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Atau apakah seorang guru di pelosok Maluku sana bisa dikenai sanksi administratif dan diajukan ke Dewan Kehormatan Guru lantaran guru yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi teknologi dan informatika sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat 5 mengenai nilai-nilai dasar kompetensi guru; padahal guru yang bersangkutan menjalankan fungsi mengajar dan mendidik secara baik. Hanya saja, karena infrastrukturnya tidak mendukung, sampai sekarang komputer pun mungkin belum pernah dipegangnya.

Akan tetapi, sesungguhnya persoalan guru tidak berasal dari internal guru saja, yang paling dominan justru faktor eksternal (ekonomi dan politik).

Apakah yakin martabat guru akan naik setelah diproklamasikan sebagai profesi, tapi proses perekrutan guru calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2004 ini diwarnai dengan suap Rp 20 juta-Rp 75 juta? Menurut hemat penulis, kalau mau membuat program 100 hari yang monumental, realistis, dan jelas indikatornya, hal itu dapat dilakukan dengan mencegah penerimaan guru CPNS dengan menggunakan uang suap sedikit pun.

Apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mampu mewujudkan itu, maka akan dicatat dengan tinta emas dan sebagai langkah konkret memerangi korupsi. Guru pun lebih bermartabat karena menjadi guru karena kemampuannya, bukan karena menyuap pihak lain.

Darmaningtyas Anggota Dewan Penasihat Center for the Betterment of Education (CBE) di Jakarta

Bookmark this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google

0 komentar

Posting Komentar